JAKARTA, kabarbisnis.com: Sistem budidaya pertanian Indonesia dalam dua dekade terakhir terbilang belum banyak beranjak. Hal itu dapat dilihat dari profil mayoritas petaninya yang masih konvensional.
Alhasil, nilai tambah dari hasil panen pertanian belum dinikmati sepenuhnya oleh petani. Tanpa adopsi benih bioteknologi atau produk rekayasa genetika (PRG) yang berpotensi menaikkan produktivitas hasil pertanian, maka cita-cita besar Indonesia sebagai lumbung pangan dunia di 2045 hanyalah sebatas slogan.
Demikian Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir dalam webinar biotek bertema “Potensi Bioteknologi Pertanian dalam Mewujudkan Ketahanan
Pangan di Indonesia” seri ke III di Jakarta, Senin (21/12/2020). Winarno mengingatkan Indonesia sangat berpotensi menghadapi persoalaan serius ketersediaan pangan yang ke depannya. Dengan total penduduk sebesar 268,5 juta jiwa, setiap tahunnya pertumbuhan penduduknya sebesar 1,49%.
Sementara ketersediaan lahan irigasi di sawah produktif di Jawa semakin tergerus untuk kepentingan di luar sektor pertanian , terutama industri. Upaya ekstensifikasi pertanian seperti di lahan rawa seperti di Kalimantan, meski sifatnya padat modal dan didukung sarana teknologi dan manajemen pengairan, hasilnya tetap tidak mampu menyamai dengan hasil pertanian di Jawa.
Winarno melihat Indonesia sangat berhati-hati merespon masuknya benih bioeknologi. Padahal regulasi dan perangkatnya sudah disiapkan hanya sebagai basa basi saja agar ada kesan serius.
Meski potensi lahan marginal terbentang luas di Pulau Sumatera dan Papua, tapi tanpa dukungan teknologi hanya akan jadi impian saja tanpa bisa merealisasikan cita-cita untuk menjadi Lumbung Pangan Dunia. Petani tanpa bekal teknologi yang terkini maka akan terap menjadi petani tradisional di Era Teknologi 4.0.
Sementara, Afrika 34 tahun yang lalu masih sangat terbelakang tempatnya kelaparan dan kekeringan serta kemiskinan. Winarno mengakui sebagai penyuluh pertanian memperoleh penugasan negara membantu pola budidaya pertanian di 22 negara Afrika.
Bahkan, Indonesia mempunyai Pusat Pelatihan, Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) di Afrika (Farmers Agricultural and Rural Training Center/FAR-TC). Asistensi Indonesia ini tidak terlepas dari penghargaan FAO sebagai keberhasilan kerka petani meraih swasembada beras.
Namun kondisi sekarang justru terbalik.Contohnya Ethiopia menjadi negara adidaya pertanian dan ketahanan pangan dengan peringkat ke 12 (versi Food Sustainability Index). Sementara Indonesia justru berada di peringkat 21.
“Kondisi sekarang berbalik , sistem budidaya dan hasil produksi pertanian Indonesia justru tertinggal dengan sejumlah negara di Afrika.Mereka bisa menggungguli kita karena mau mengadopsi benih transgenik,” terangnya.
Bambang Purwantara,Direktur Indobic mengatakan Zimbabwe ,Tanzania ,Malawi ,Sudan dan Kenya juga dinilai berhasil meningkatkan produktivitas hasil pertaniannya. Menurutnya, Zimbabwe, petaninya telah menanam jagung trangenik seluas 5 juta hektare.
Selain meningkatkan pendapatan petani, benih transgenik menjadi solusi dari resiko kerentanan pangan bagi rakyatnya menghadapi cuaca panas yang ekstrem.Laporan ISSA pada 2019, sebanyak 71 negara telah mengadopsi tanaman biotek sejak 1991, sebesar 91% dari tanaman ini diproduksi la negara mega bioteknologi yaitu Amerika Serikat, Argentina,Brasil, Kanada dan India.
Adapun , sebanyak 190 juta hektar lahan yang sudah ditanam tanaman biotek seperti jagung, kedelai, kapas, kanola dan alfafa. Bambang menambahkan terdapat persepsi yang keliru apabila kehadiran benih PRG menjadi ancaman terhadap pertanian organik dan kearifan lokal.
Justru adopsi benih PRG akan meningkatkan produktifitas hasil pertanian melalui perbaikan salinitas, mengurangi bahkan menghilangkan losses hasil akibat ancaman hama. Menurutnya, tidak dapat ditampik issue ini merupakan perseteruan bisnis antara industri bioteknologi dengan industri pestisida.
Bambang mengakui hambatan utama adalah belum tuntasnya pengesahan regulasi di Kementerian Pertanian sehingga hingga kini petani belum juga dapat mengadopsi benih PRG. Padahal amanat dari PP No 21/2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika dan petunjuk teknis pelaksanaannya dikeluarkanlah Perpres No 39 Tahun 2010 tentang Komisi Kemananan Hayati Produk Rekayasa Genetika.
Selain itu Permentan no 38 tahun 2019 tentang Pelepasan Varietas Tanaman PRG sudah dirilis dapat menjadi ruang yang memadai bagi peneliti untuk mengembangkan produk bioteknologi. Namun, Bambang mengakui satu regulasi yang menunggu tanda tangan Menteri Pertanian yakni berkaitan Peraturan Menterian Pertanian tentang Pedoman Pengawasan dan Pengendalian Varietas Tanaman PRG.
Piranti hukum pengawasan ini merupakan amanat Peraturan Pemerintah nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika.Menurut Bambang penyusunan draf dilakukan sangat berhati hati dan mendengarkan aspirasi semua pihak.
“Harmonisasi sudah selesai dilakukan baik di Seskab dan Kemenkumham .Tinggal menunggu tanda tangan Menteri Pertanian,” jelasnya.
Bambang menambahkan pengesahan petunjuk teknis ini telah ditunggu industri perbenihan baik multinasional maupun nasional hingga belasan tahun. Tanpa kelengkapan regulasi, industri benih tidak berani melanjutkan pengembangan benih. Hal tersebut dilakukan PT Perkebunan Nasional XI yang memuliakan benih tebu toleran kekeringan.
Sumber: https://kabarbisnis.com/read/28103777/petani-tunggu-adopsi-prg-jangan-lagi-guru-kalah-kencang-berlari-