NewMalangPos – Tak banyak orang yang mendengar ekonomi biru. Mungkin terlihat baru. Namun secara garis besar Istilah ekonomi biru pertama kali disebutkan oleh Gunter Pauli sebagai Green 2.0 atau ekonomi hijau yang disempurnakan.
Dalam hal ini, ekonomi biru mengacu pada sejumlah poin penting. Diantaranya efisiensi sumber daya, pemanfaatan secara berjenjang, pemanfaatan limbah, hingga penggunaan inovasi untuk pemanfaatan sumber daya dan limbah.
Terdengar asing? Tentu tidak. Namun tak banyak orang yang mengaplikasikannya. Bahkan di tingkat lingkungan terkecil. Dalam hal ini tingkat RT/RW. Salah satu orang yang tak kenal lelah menerapkan prinsip tersebut adalah ST Catur Wicaksono.
Laki-laki ramah yang berdomisili di Jalan Lahor Desa Pesanggrahan, no 70 RT 3 RW 12 Kecamatan Batu, Kota Batu ini getol dan tak pantang lelah mengajak warganya untuk menerapkan dan membuat gerakan ketahan pangan. Yang ia mulai dari lingkungan sekitarnya.
“Sebenarnya ini gerakan bersama warga. Kami bersama warga sejak Oktober tahun 2019 lalu membentum Baling Nol Tiga. Singkatannya Bangun Lingkungan. Nol limbah, nol sampah, dan nol kimia,” ujar Catur, sapaan akrabnya kepada New Malang Pos.
Secara garis besar, konsepnya bagaimana Baling Nol Tiga bisa mengelola sampah menjadi komposter, limbah untuk produk bernilai jual seperti pot pempes, dan tidak menggunakan bahan kimia dalam bercocok tanam.
Laki-laki kelahiran Madiun, 4 Mei 1968 ini mencertiakan bahwa salah satu tujuan gerakan ketahan pangan adalah mengelola sampah baik. Serta mampu menghasilkan sesuatu yang sehat dan bernilai. Dalam hal ini perputaran ekonomi.
“Gerakan bareng-bareng ayo nandur ini kami rasakan manfaatnya di tengah pandemi Covid-19. Karena produk yang dihasilkan dapat terserap dan dirasakan hasilnya oleh masyarakat sekitar,” beber Catur.
Meski belum berusia genap satu tahun. Terbukti, melalui Baling Nol Tiga ada banyak hasil yang telah didapat. Mulai dari panen sayuran organik, pembibitan, pupuk kompos, pembesaran lele, hingga budidaya jamur tiram.
Semua itu diaplikasikannya bukan di lahan pertanian yang luas. Namun ditepi jalan-jalan kamping kisaran Jalan Lahor Desa Pesanggrahan, no 70 RT 3 RW 12 Kecamatan Batu, Kota Batu. Tidak percaya, bisa datang untuk berjalan-jalan dengan sekedar menengoknya. Atau bisa belajar tentang konsep Baling Nol Tiga secara detail.
Alumnus S1 Jurusan Teknik Mesin ITS menuturkan satu per satu. Untuk sayuran organik ia telah memiliki bibit sekitar 600 polibag. Pembibitan ia lakukan secara bergantian setiap hari. Sehingga saat panen juga bisa dilakukan setiap hari.
“Jadi kunci ketahanan pangan di pembebitan. Ini agar setiap hari bisa panen bekekanjutan. Artinya ada pemasukan ekonomi agar gerakan tidak berhenti di tengah jalan,” terangnya.
Beberapa jenis sayuran yang dirawatnya ada kailan, sawi daging, sawi bungkuk, sawi manis, andewi, kangkung, tomat, terong, kubis, hingga pagoda. Sekali lagi tidak perlu lahan luas untuk menanamnya. Terpenting untuk ketahanan pangan tak perlu terlalu banyak, cukup berkelanjutan.
Bahkan, lanjut dia, media tanam atau polibag yang telah dipakai, tak langsung dibuang atau sekali pakai. Tapi digunakan bergantian agar tidak menghasilkan sampah plastik polibag.
Sayuran yang ia tanam juga 100 persen organik. Sesuai dengan prinsipnya, Nol Kimia, ia menggunakan pupuk dari kompos dan pupuk cair yang dibuatnya sendiri dari limbah sampah. Khusunya limbah sampah organik rumah tangga disekitarnya.
Bahkan, jeroan hasil panenan ikan lele yang ia besarkan juga digunakan untuk pupuk. Menurutny apa yang ia kerjakan ini harus berkelanjutan dan berkesimbungan. Memang kelihatannya mudah, tapi karena banyak yang tidak sabar jadi putus ditengah jalan. Misalnya saja untuk sayur organik butuh proses panjang. Berbeda dengan sayur dengan pupuk kimia yang bisa lebih cepat produksinya namun tak baik untuk kesehatan.
“Pada intinya untuk memulai ini semua cukup dari sampah. Jika sampah terkelola dengan baik, maka kompos dan pupuk cair akan melimpah. Artinya pertanian menuju organik sudah siap. Karena bahan baku sudah ada juga melimpah. Tinggal keinginan dari masing-masing individu saja,” terangnya.
Ketua Komunitas Pengelola Sampah Mandiri (KPSM) Kota Batu ini menerangkan bahwa pertanian organik susah diterapkan karena tidak adanya kesadaran untuk memilah sampah dari rumah. Hal itu jadi masalah besar di Indonesia.
Begitu juga pemerintah yang hanya menyediakan sarpras saja. Padahal ia menuturkan manajemen pendampingan juga perlu. Meski Pemerintah memberikan bantuan mesin cacah saoah misalnya. Tapi pendampingan tak ada akan tidak berjalan.
Selain itu tak ada perhitungan ekonomi. Artinya biaya operasional harus dihitung. Tidak bisa hanya sarpras dan kemudian setelah itu terserah masyarakat.
“Dari beberapa permasalahn itulah yang membuat saya dan teman-teman membentuk gerakan ketahanan pangan Baling Nol Tiga dorong mulai bawah. Atau di tingkat RT/RW. Meski dalam perjalanannya saya tidak memaksakan semua warga berprtisipasi. Yang mau saja,” ungkap istri dari MB Sri Handayani
Selama tiga bulan. Terhitung April, Mei, dan Juni hasil dari panen sayur, lele, jamur tiram dilaporkannya dalam uang yang masuk dalam kas mencapai Rp 5 juta. Dengan pasar yang menyasar warga sekitar. Cara pemasaran cukup efisien. Melalui grub whatsapp.
Sehingga sebelum jadwal panen, dua hari sebelumnya ia memberikan woro-woro atau pemberitahuan jika akan panen raya. Karena sayur yang oleh Baling Nol Tiga adalah organik atau ramah lingkungan harganya diatas harga pasar. Misal jamur ia jual Rp 20 ribu per Kg dari harga pasar Rp 15-17 ribu. Sawi daging dijual Rp 10 ribu per Jg 10 ribu dari harga pasar Rp 4-6 ribu.
Tak hanya itu, diungkap Catur jika dirinya sebelumnya pernah bekerja sebagai mekanik di PT POSSI Indonesia. Ia melakukan pekerjaan dengan merawat mesin pembangkit listrik kurang lebih 10. Kemudian pada tahun 2012 memilih pensiun dini dengan konsen di gerakan lingkungan.
Mulai dari sebagai inisiatif pengelola Dusun Sahabat Alam (d’sa) merupakan wahana wisata alam dan edukasi pelestarian lingkungan di Dusun Lasah, Desa Tawangargo, Kecamatan Karangploso. Kemudian anggota PKK Kota Batu Pokja 4 meliputi Kesling, Posyandu, PHBS. Serta Wakil Ketua Forum Kota Sehat (FKS) Kota Batu.
Baginya, berbisnis dan bergerak untuk melestarikan lingkungan memang tidak memiliki gaji besar seperti dirinya bekerja sebagai mekanik. Karena bagi Catur, yang profit utam bukan hanya uang.
Tapi kesempatan bisa bergerak di masyarakat dan meggaplikasikan kinginan demi kebaikan lingkungan di masyarakat adalah profit. Ia berharap bersama 16 pengurus Baling Nol Tiga edepan jadi percontohan di kampung lain-lainya.
“Ketika Baling Nol Tiga bisa bertanah secara berkelanjutan dan berhasil. Tinggal dilakukan copy paste di tempat lain. Kemudian tinggal cari dan memperluas market agar pendapat juga berkelanjutan,” tandasnya. (kerisdianto)
sumber: https://newmalangpos.id/malang-raya/kota-batu/st-catur-wicaksono-gugah-kesadaran-masyarakat-dengan-bentuk-gerakan-ketahanan-pangan-tingkat-rw